LAPORAN PENDAHULUAN BPH
(BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)
A. PENGERTIAN
Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994)
Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000)
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005)
Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)
BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
B. ETIOLOGI
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5-α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism, bagian inilah yang mengalami hiperplasia.
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
- Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut;
- Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat;
- Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
- Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
- Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
- Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
- Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995).
D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
Normal : Tidak ada sisa
Grade I : sisa 0-50 cc
Grade II : sisa 50-150 cc
Grade III : sisa > 150 cc
Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan:
Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
Medikamentosa
1. Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor α1a. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda (sing and symptom) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya
2. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)
Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala
3. Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5α-Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan sedang berlangsung
4. Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja fitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji
Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
Laboratorium
1) Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2) Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Pencitraan
1) Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2) IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
3) Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4) Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Laporan Pendahuluan KPD (Ketuban Pecah Dini)

A. Pengertian KPD
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda-tanda persalinan dan ditunggu satu jam sebelum dimulainya tanda-tanda persalinan (Manuaba, 1998).
Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah spontan yang terjadi pada sembarang usia kehamilan sebelum persalinan di mulai (William,2001).
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan berlangsung dan dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm. (saifudin,2002)
Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan mambran disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina serviks. (Sarwono Prawiroharjo, 2002)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. (Sarwono Prawirohardjo, 2005)

B. Etiologi KPD
Walaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah:
1. Infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD.
2. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage).
3. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.
4. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
5. Keadaan sosial ekonomi
6. Faktor lain
a. Faktor golonngan darah
b. Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit ketuban.
c. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.
d. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
e. Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C).



C. Faktor Resiko
Faktor risiko ketuban pecah dini persalinan preterm
1. kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%)
2. riwayat persalinan preterm sebelumnya
3. perdarahan pervaginam
4. pH vagina di atas 4.5
5. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban.
6. flora vagina abnormal
7. fibronectin > 50 ng/ml
8. kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi misalnya pada stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi persalinan preterm
9. Inkompetensi serviks (leher rahim)
10. Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
11. Riwayat KPD sebelumya
12. Trauma
13. servix tipis / kurang dari 39 mm, Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu
14. Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan partus preterm
1. iatrogenik : hygiene kurang (terutama), tindakan traumatic
2. maternal : penyakit sistemik, patologi organ reproduksi atau pelvis, pre-eklampsia, trauma, konsumsi alkohol atau obat2 terlarang, infeksi intraamnion subklinik, korioamnionitis klinik, inkompetensia serviks, servisitis/vaginitis akut, Ketuban Pecah pada usia kehamilan preterm.
3. fetal : malformasi janin, kehamilan multipel, hidrops fetalis, pertumbuhan janin terhambat, gawat janin, kematian janin.
4. cairan amnion : oligohidramnion dengan selaput ketuban utuh, ketuban pecah pada preterm, infeksi intraamnion, korioamnionitis klinik.
5. placenta : solutio placenta, placenta praevia (kehamilan 35 minggu atau lebih), sinus maginalis, chorioangioma, vasa praevia.
6. uterus : malformasi uterus, overdistensi akut, mioma besar, desiduositis, aktifitas uterus idiopatik
Menurut Taylor menyelidiki bahwa ada hubungan dengan hal-hal berikut :
- Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah. Penyakit-penyakit seperti pielonefritis, sistitis, sevisitis dan vaginitis terdapat bersama-sama dengan hipermotilitas rahim ini.
- Selaput ketuban terlalu tipis ( kelainan ketuban )
- Infeksi ( amnionitis atau korioamnionitis )
- Factor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah : multipara, malposisi, disproporsi, cervix incompetent dan lain-lain.
- Ketuban pecah dini artificial ( amniotomi ), dimana ketuban dipecahkan terlalu dini.

D. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai berikut :
- Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi.
- Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.
- Banyak teori, yang menentukan hal – hal diatas seperti defek kromosom, kelainan kolagen sampai infeksi.
- Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler korion dan trofoblas.
Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion / amnion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.

E. Tanda dan Gejala
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat dilakukan dengan kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH normal dari vagina adalah 4 - 4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1 - 7,3. Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni.
1. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly janin atau melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.
2. Amniosintesis
Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan paru janin.
3. Pemantauan janin
Membantu dalam mengevaluasi janin
4. ProteinC-reaktif
Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peringatan korioamnionitis

G. Penatalaksaan
Konservatif
1) Rawat rumah sakit dengan tirah baring.
2) Tidak ada tanda-tanda infeksi dan gawat janin.
3) Umur kehamilan kurang 37 minggu.
4) Antibiotik profilaksis dengan amoksisilin 3 x 500 mg selama 5 hari.
5) Memberikan tokolitik bila ada kontraksi uterus dan memberikan kortikosteroid untuk mematangkan fungsi paru janin.
6) Jangan melakukan periksaan dalam vagina kecuali ada tanda-tanda persalinan.
7) Melakukan terminasi kehamilan bila ada tanda-tanda infeksi atau gawat janin.
8) Bila dalam 3 x 24 jam tidak ada pelepasan air dan tidak ada kontraksi uterus maka lakukan mobilisasi bertahap. Apabila pelepasan air berlangsung terus, lakukan terminasi kehamilan.
Aktif
Bila didapatkan infeksi berat maka berikan antibiotik dosis tinggi. Bila ditemukan tanda-tanda inpartu, infeksi dan gawat janin maka lakukan terminasi kehamilan.
1) Induksi atau akselerasi persalinan.
2) Lakukan seksiosesaria bila induksi atau akselerasi persalinan mengalami kegagalan.
3) Lakukan seksio histerektomi bila tanda-tanda infeksi uterus berat ditemukan.

H. Komplikasi
1) infeksi intra partum (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke intrauterin.
2) persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm.
3) prolaps tali pusat, bisa sampai gawat janin dan kematian janin akibat hipoksia (sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang).
4) oligohidramnion, bahkan sering partus kering (dry labor) karena air ketuban habis.
Komplikasi infeksi intrapartum
- komplikasi ibu : endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia), sepsis CEPAT (karena daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat banyak), dapat terjadi syok septik sampai kematian ibu.
- komplikasi janin : asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian janin.

I. Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul
1) Risiko infeksi, (factor resiko: infeksi intra partum, infeksi uterus berat, gawat janin)
NOC:
Status imun: Keadekuatan alami yang didapat dan secara tepat ditujukan untuk menahan antigen-antigen internal maupun eksternal.
Pengetahuan: Pengendalian Infeksi: tingkat pemahaman mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi.
Pengendalian resiko: tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman kesehatan akual, pribadi, serta dapat dimodifikasi.
Deteksi Resiko: indakan yang dilakukan untuk mengidentifikasi ancaman kesehatan seseorang.
Tujuan/Kriteria Evaluasi:
- Fakto resiko infeksi akan hilang dengan dibuktikan oleh keadekuatan status imun pasien.
- Pasien menunjukkan Pengendalian Risiko.
NIC:
Pemberian Imunisasi/Vaksinasi: Pemberian imunisasi untuk mencegah penyakit menuar.
Pengendalian Infeksi: Meminimalkan penularan agen infeksius.
Perlindungan terhadap Infeksi: Mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien yang berisiko.
Aktivitas Keperawatan:
- Pantau tanda gejala infeksi
- Kaji factor yang meningkatkan serangan infeksi
- Patau hasil laboratorium
- Amati penampilan praktik hygiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi
- Aktivitas Kolaboratif: Berikan terapi antibiotic, bila diperlukan.
2) Ansietas b.d Perubahan dalam: status kesehatan
NOC:
Kontrol Agresi: Kemampuan untuk menahan perilaku kekerasan, kekacauan, atau perilaku destruktif pada orang lain.
Kontrol Ansietas: Kemampuan untuk menghilangkan atau mengurangi perasaan khawatir dan tegang dari suatu sumber yang tidak dapat diidentifikasi.
Koping: Tindakan untuk mengatasi stressor yang membebani sumber-sumber individu.
Kontrol Impuls: Kemampuan untuk menahan diri dari perilaku kompulsif atau impulsive.
Penahanan Mutilasi Diri: Kemampuan untuk berhenti dari tindakan yang mengakibatkan cedera diri sendiri (non-letal) yang tidak diperhatikan.
Keterampilan Interaksi Sosial: Penggunaan diri untuk melakukan interaksi yang efektif.
Tuuan/Kriteria Hasil:
- Ansietas berkurang
- Menunjukkan Kontrol Ansietas
NIC:
Pengurangan Ansietas: Minimalkan kekhawatiran, ketakutan, berprasangka atau rasa gelisah yang dikaitkan dengan sumber bahaya yang tidak dapat diidentifikasi dari bahaya yang dapat diantisipasi.
Aktivitas Keperawatan:
- Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien secara berkala
- Menentukan kemampuan pengambilan keputusan pada pasien.
- Aktivitas Kolaboratif: Berikan pengobatan untuk mengurangi ansietas, sesuai dengan kebutuhan.
3) Defisiensi Pengetahuan b.d keterbatasan kognitif dalam hal mengenal tanda dan gejala penyakit
NOC:
Pengetahuan: Pengendalian infeksi : tingkat pemahaman pada apa yang disampaikan.
Tujuan/Kriterioa Hasil:
- Menunjukkan pengetahuan: Pengendalian Infeksi: dibuktikan dengan indicator 1-5: tidak ada, terbatas, cukup, banyak, atau luas.
- Mengidentifikasi keperluan untuk penambahan informasi menurut penanganan yang dianjurkan.
NIC:
Panduan Sistem Kesehatan: memfasilitasi daerah pasien dan penggunaan layanan kesehatan yang tepat.
Pengajaran, Proses Penyakit: Membantu pasien dalam memahami informasi yang berhubungan dengan proses timbulnya penyakit secara khusus.
Pengajaran, Individu: Perencanaan, implementasi, dan evaluasi penyusunan program pengajaran yang dirancang uuntuk kebutuhan khusus pasien.
Aktivitas Keperawatan:
- Tentukan kebutuhan pengajaran pasien
- Lakukan penilaian tingkat pengetahuan pasien dan pahami isinya
- Tentukan kemampuan pasien untuk mempelajari informasi khusus
- Berinteraksi kepada pasien dengan cara yang tidak menghakimi untuk memfasilitasi pengajaran
4) Nyeri akut b.d agen cidera (fisik) luka operasi
NOC:
- Tingkat kenyamanan perasaan senang secara fisik & psikologis
- Prilaku mengendalikan nyeri
- Nyeri: efek merusak terhadap emosi dan prilaku yang diamati
- Tingkat nyeri: jumlah nyeri yang dilaporkan
Kriteria evaluasi:
- Menunjukkan nyeri efek merusak dengan skala 1-5: ekstrim, berat, sedang, ringan, atau tidak ada
- Menunjukkan teknik relaksasi secara individu yang efektif
- Mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri.
NIC:
- Pemberian analgesik
- Sedasi sadar
- Penatalaksanaan nyeri
- Bantuan Analgesika yang Dikendalikan oleh Pasien
Aktivitas keperawatan:
- Minta pasien untuk menilai nyeri/ketidak nyamanan pada skala 0 sampai 10
- Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif
- Observasi isyarat ketidak nyamanan nonverbal













DAFTAR PUSTAKA
Herdman, Heather T. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC. Allih bahasa: Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Etsu Tiar.
Wilkinson, M. Judith. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 7. Jakarta : EGC.
Prawirohajo, sarwono. 2008. Ilmu kebidanan. Jakarta : PT bina pustaka.
Manjoer, arif. 2000. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Aesculapius.

Obat

1. Obat dan Peran Obat dalam Pelayanan Kesehatan
a. Pengertian Obat
Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. (Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia)
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh.
Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit.
b. Bahan Obat / Bahan Baku
Semua bahan, baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan


obat walaupun tidak semua bahan tersebut masih terdapat di dalam produk ruahan. Produk ruahan merupakan tiap bahan yang telah selesai diolah dan tinggal memerlukan pengemasan untuk menjadi oabt jadi.
c. Obat Tradisional
Merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
d. Penggolongan Obat

Obat digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:

1) Obat Bebas, merupakan obat yang ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat bebas umumnya berupa suplemen vitamin dan mineral, obat gosok, beberapa analgetik- antipiretik, dan beberapa antasida. Obat golongan ini dapat dibeli bebas di Apotek, toko obat, toko kelontong, warung.
2) Obat Bebas Terbatas, merupakan obat yang ditandai dengan lingkaran berwarna biru dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat-obat yang umunya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat batuk, obat influenza, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas pada saat demam (analgetik-antipiretik), beberapa suplemen vitamin dan mineral, dan obat-obat antiseptika, obat tetes mata untuk iritasi ringan. Obat golongan ini hanya dapat dibeli di Apotek dan toko obat berizin.
3) Obat Keras, merupakan obat yang pada kemasannya ditandai dengan lingkaran yang didalamnya terdapat huruf K berwarna merah yang menyentuh tepi lingkaran yang berwarna hitam. Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, obat darah tinggi/hipertensi, obat darah rendah/antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, dan beberapa obat ulkus lambung. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh di Apotek dengan resep dokter.
4) Obat Narkotika, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UURI No. 22 Th 1997 tentang Narkotika). Obat ini pada kemasannya ditandai dengan lingkaran yang didalamnya terdapat palang (+) berwarna merah.
Obat Narkotika bersifat adiksi dan penggunaannya diawasi dengan ketet, sehingga obat golongan narkotika hanya diperoleh di Apotek dengan resep dokter asli (tidak dapat menggunakan kopi resep). Contoh dari obat narkotika antara lain: opium, coca, ganja/marijuana, morfin, heroin, dan lain sebagainya. Dalam bidang kesehatan, obat- obat narkotika biasa digunakan sebagai anestesi/obat bius dan analgetik/obat penghilang rasa sakit.
e. Peran Obat

Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut:
1) Penetapan diagnosa

2) Untuk pencegahan penyakit

3) Menyembuhkan penyakit

4) Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan

5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu

6) Peningkatan kesehatan

7) Mengurangi rasa sakit







2. Parameter-parameter Farmakologi a. Farmakokinetika
Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME).
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak.
1) Absorpsi dan Bioavailabilitas

Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
2) Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh







ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
3) Biotransformasi / Metabolisme

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
4) Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3







preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.


b. Farmakodinamika

Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
1) Mekanisme Kerja Obat

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai







reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2) Reseptor Obat

Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3) Transmisi Sinyal Biologis

Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
4) Interaksi Obat-Reseptor

Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.







5) Antagonisme Farmakodinamika

Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.
6) Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor

Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.
7) Efek Obat

Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat.







3. Macam-macam Bentuk Obat dan Tujuan Penggunaannya

• Bentuk-bentuk obat serta tujuan penggunaannya antara lain adalah sebagai berikut:
a. Pulvis (Serbuk)

Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar.
b. Pulveres

Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum.
c. Tablet (Compressi)

Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.
1) Tablet Kempa Æ paling banyak digunakan, ukuran dapat bervariasi, bentuk serta penandaannya tergantung design cetakan
2) Tablet Cetak Æ dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada massa lembab dalam lubang cetakan.
3) Tablet Trikurat Æ tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya silindris. Sudah jarang ditemukan
4) Tablet Hipodermik Æ dibuat dari bahan yang mudah larut atau melarut sempurna dalam air. Dulu untuk membuat sediaan injeksi hipodermik, sekarang diberikan secara oral.
5) Tablet Sublingual Æ dikehendaki efek cepat (tidak lewat hati).

Digunakan dengan meletakkan tablet di bawah lidah.

6) Tablet Bukal Æ digunakan dengan meletakkan di antara pipi dan gusi.

7) Tablet Efervescen Æ tablet larut dalam air. Harus dikemas dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada etiket tertulis “tidak untuk langsung ditelan”.







8) Tablet Kunyah Æ cara penggunaannya dikunyah. Meninggalkan sisa rasa enak di rongga mulut, mudah ditelan, tidak meninggalkan rasa pahit, atau tidak enak.
d. Pilulae (PIL)

Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul. Masih banyak ditemukan pada seduhan jamu.
e. Kapsulae (Kapsul)

Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Keuntungan/tujuan sediaan kapsul yaitu:
1) Menutupi bau dan rasa yang tidak enak

2) Menghindari kontak langsung dengan udara dan sinar matahari

3) Lebih enak dipandang

4) Dapat untuk 2 sediaan yang tidak tercampur secara fisis (income fisis), dengan pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain yang lebih kecil kemudian dimasukkan bersama serbuk lain ke dalam kapsul yang lebih besar.
5) Mudah ditelan.

f. Solutiones (Larutan)

Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaannya, tidak dimasukkan dalam golongan produk lainnya (Ansel). Dapat juga dikatakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Cara penggunaannya yaitu larutan oral (diminum) dan larutan topikal (kulit).
g. Suspensi

Merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut terdispersi dalam fase cair. Macam suspensi antara lain: suspensi oral







(juga termasuk susu/magma), suspensi topikal (penggunaan pada kulit), suspensi tetes telinga (telinga bagian luar), suspensi optalmik, suspensi sirup kering.
h. Emulsi

Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase cairan dalam sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya, umumnya distabilkan oleh zat pengemulsi.
i. Galenik

Merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari.
j. Extractum

Merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang ditetapkan.
k. Infusa

Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 900 C selama 15 menit.
l. Immunosera (Imunoserum)

Merupakan sediaan yang mengandung Imunoglobin khas yang diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin kuman (bisa ular) dan mengikat kuman/virus/antigen.
m. Unguenta (Salep)

Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dapat juga dikatakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.







n. Suppositoria

Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Tujuan pengobatan yaitu:
1) Penggunaan lokal Æ memudahkan defekasi serta mengobati gatal, iritasi, dan inflamasi karena hemoroid.
2) Penggunaan sistemik Æ aminofilin dan teofilin untuk asma, chlorprozamin untuk anti muntah, chloral hydrat untuk sedatif dan hipnotif, aspirin untuk analgenik antipiretik.
o. Guttae (Obat Tetes)

Merupakan sediaan cairan berupa larutan, emulsi, atau suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes beku yang disebutkan Farmacope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain: Guttae (obat dalam), Guttae Oris (tets mulut), Guttae Auriculares (tetes telinga), Guttae Nasales (tetes hidung), Guttae Ophtalmicae (tetes mata).
p. Injectiones (Injeksi)

Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut.


• Cara pemberian obat serta tujuan penggunaannya adalah sebagai berikut:
a. Oral

Obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut. Keuntungannya relatif aman, praktis, ekonomis. Kerugiannya timbul efek lambat; tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare, tidak







sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif dan rasa tidak enak penggunaannya terbatas; obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G, insulin); obat absorpsi tidak teratur.
Untuk tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral adalah yang paling menyenangkan dan murah, serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat yang mengalami perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat, penggunaan obat melalui oral tidak dapat dipakai.
b. Sublingual
Cara penggunaannya, obat ditaruh dibawah lidah. Tujuannya supaya efeknya lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah merupakan pusat sakit. Misal pada kasus pasien jantung. Keuntungan cara ini efek obat cepat serta kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak lewat vena porta)
c. Inhalasi
Penggunaannya dengan cara disemprot (ke mulut). Misal obat asma. Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat dapat dikontrol, terhindar dari efek lintas pertama, dapat diberikan langsung pada bronkus. Kerugiannya yaitu, diperlukan alat dan metoda khusus, sukar mengatur dosis, sering mengiritasi epitel paru – sekresi saluran nafas, toksisitas pada jantung.
Dalam inhalasi, obat dalam keadaan gas atau uap yang akan diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli paru-paru dan membran mukosa pada perjalanan pernafasan.
d. Rektal
Cara penggunaannya melalui dubur atau anus. Tujuannya mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi efek lintas pertama. Contoh, asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat.
e. Pervaginam
Bentuknya hampir sama dengan obat rektal, dimasukkan ke vagina, langsung ke pusat sasar. Misal untuk keputihan atau jamur.







f. Parentral
Digunakan tanpa melalui mulut, atau dapat dikatakan obat dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna. Tujuannya tanpa melalui saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh darah. Misal suntikan atau insulin. Efeknya biar langsung sampai sasaran. Keuntungannya yaitu dapat untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare, yang sulit menelan/pasien yang tidak kooperatif; dapat untuk obat yang mengiritasi lambung; dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati; bekerja cepat dan dosis ekonomis. Kelemahannya yaitu kurang aman, tidak disukai pasien, berbahaya (suntikan – infeksi).
Istilah injeksi termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara parentral, termasuk infus. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk kering. Bila mau dipakai baru ditambah aqua steril untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi.
g. Topikal/lokal
Obat yang sifatnya lokal. Misal tetes mata, tetes telinga, salep. h. Suntikan
Diberikan bila obat tidak diabsorpsi di saluran cerna serta dibutuhkan kerja cepat.


• Tabel Penggunaan Bentuk Sediaan

Cara Pemberian Bentuk Sediaan Utama
Oral Tablet, kapsul, larutan (sulotio), sirup, eliksir,
suspensi, magma, jel, bubuk
Sublingual Tablet, trokhisi dan tablet hisap
Parentral Larutan, suspensi
Epikutan/transdermal Salep, krim, pasta, plester, bubuk, erosol, latio,
tempelan transdermal, cakram, larutan, dan solutio
Konjungtival Salep
Introakular/intraaural Larutan, suspensi
Intranasal Larutan, semprot, inhalan, salep
Intrarespiratori Erosol
Rektal Larutan, salep, supositoria
Vaginal Larutan, salep, busa-busa emulsi, tablet, sisipan,
supositoria, spon
Uretral Larutan, supositoria
Sumber: Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Howard C. Ansel)







4. Terapi Obat Pada Pasien-pasien Khusus

Farmakoterapi merupakan cabang ilmu farmakologi yang mempelajari obat untuk mencegah, menegakkan diagnostik, menyembuhkan penyakit, memulihkan (rehabilitasi) kesehatan, namun juga untuk mencegah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu (misal: penggunaan obat-obat KB, anastetika umum (hilangnya kesadaran dan respon aktif (nyeri), fisiologi berubah, sehingga dioperasi tidak sakit)). Tujuan terapi adalah untuk menyembuhkan, mengurangi rasa sakit, menghindari komplikasi, serta memperpanjang masa hidup.
a. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Hamil.

Penggunaan obat dapat mengakibatkan kecacatan pada bayi atau mempengaruhi janin, apabila obat yang dikonsumsi oleh ibu hamil tembus ke placenta.
Obat hanya diresepkan pada wanita hamil bila manfaat yang diperoleh ibu diharapkan lebih besar dibanding resiko pada janin.
Sedapat mungkin dihindari penggunaan segala jenis obat pada trimester pertama kehamilan
Bila menggunakan obat saat hamil, maka harus dipilih obat yang paling aman. Obat harus diresepkan pada dosis efektif yang terendah dan untuk jangka waktu pemakaian yang sesingkat mungkin.
b. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Menyusui

Obat yang diminum ibu menyusui dapat menembus air susu sehingga diminum/terminum oleh bayi. Misal, wanita gondok Æ minum obat Æ menyusui tidak dihentikan Æ anak kerdil
Sedapat mungkin menghindari penggunaan obat pada wanita yang menyusui atau menghentikan pemberian air susu ibu (ASI) jika pemakaian obat harus dilanjutkan.
Jika penggunaan obat diperlukan, pakailah obat dengan efek samping teraman, terutama obat-obatan yang memiliki ijin untuk digunakan pada bayi.







Apabila menggunakan obat selama menyusui, maka bayi harus dipantau secara cermat terhadap efek samping yang mungkin terjadi. Mungkin dapat dianjurkan kepada ibu untuk meminum obat segera setelah menyusui.
c. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Anak

Obat pada anak dapat berpengaruh karena organ-organ pada anak belum sempurna pertumbuhannya, sehingga obat dapat menjadi racun dalam darah (mempengaruhi organ hati dan ginjal). Pada hati, enzim- enzim belum terbentuk sempurna, sehingga obat tidak termotabolisme dengan baik, mengakibatkan konsentrasi obat yang tinggi di tubuh anak. Pada ginjal, bayi berumur 6 bulang, ginjal belum belum efisien mensekresikan obat sehingga mengakibatkan konsentrasi yang tinggi di darah anak.
Dalam pengobatan, anak-anak tidak dapat diperlakukan sebagai orang dewasa berukuran kecil. Penggunaan obat pada anak merupakan hal yang bersifat khusus yang berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh maupun enzim yang bertanggungjawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat.
Farmakokinetika pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Dengan memahami perbedaan tersebut akan membantu farmasis klinis dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan dosis, misalnya dalam pengusulan dosis (mg/kg) maupun frekuensi pemberian obat yang berbeda antara anak-anak dengan orang dewasa.
Dosis bagi anak-anak sering sulit untuk ditentukan. Pemanfaatan pengalaman klinis merupakan acuan terbaik dalam menentukan dosis yang paling sesuai untuk bayi maupun anak-anak.
Pemakaian obat yang belum mempunyai ijin untuk digunakan pada anak, walaupun sering dijumpai, harus dipantau secara ketat untuk memastikan bahwa keamanan pasien diutamakan. Penyuluhan kepada pasien anak-anak maupun pengasuhnya dalam bahasa yang mudah







dimengerti akan membantu meningkatkan kepatuhan anak terhadap pengobatan.
d. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Lansia

Terdapat perubahan-perubahan fungsi, kemampuan organ menurun, dosis dalam darah meningkat sehingga menjadi racun, serta laju darah dalam ginjal menurun.
Proses penuaan akan mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan fisiologi, anatomi, psikologi, dan sosiologi. Perubahan fisiologi yang terkait usia dapat menyebabkan perubahan yang bermakna dalam penatalaksanaan obat. Farmasis sebaiknya perlu memiliki pengetahuan menyeluruh tentang perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik yang muncul.
Peresepan yang tidak tepat dan polifarmasi merupakan problem utama dalam terapi dengan obat pada pasien lanjut usia. Keahlian klinis farmasis, termasuk evaluasi terhadap pengobatan, dapat digunakan untuk memperbaiki pelayanan dalam bidang ini.
Tujuan terapi obat pada pasien lanjut usia harus ditetapkan dalam rangka mengoptimalkan hasil terapi. Perbaikan kualitas hidup, titrasi dosis, pemilihan obat, dan bentuk sediaan obat yang tepat serta pengobatan penyebab penyakit bukan sekedar gejalanya merupakan semua tindakan yang sangat diperlukan.
Efek samping obat lebih sering terjadi pada populasi lanjut usia. Pasien lanjut usia tiga kali lebih beresiko masuk rumah sakit akibat efek samping obat. Hal ini berpengaruh secara bermakna terhadap segi finansial seperti halnya implikasi teraupetik.
Kepatuhan penggunaan obat sering kali mengalami penurunan karena beberapa gangguan pada lanjut usia. Kesulitan dalam hal membaca, bahasa, mendengar dan ketangkasan, semuanya dapat berperan dalam masalah ini.







e. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Gangguan Ginjal dan Hati

Terjadi karena karena terjadi penurunan fungsi hati dan ginjal. Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit secara kasar/garis besar, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum terlihat nyata bukti kejadiannya gangguan ginjal. Bentuk gangguan ginjal yang paling sering diakibatkan oleh obat adalah interstitial nefritis dan glomerulonefritis. Penggunaan obat apa pun yang diketahui berpotensi menimbulkan nephrotoksisitas sedapat mungkin harus dihindari pada semua penderita gangguan ginjal.
Pada gagal ginjal, distribusi obat dapat berubah karena terjadi fluktuasi derajat hidrasi atau oleh adanya perubahan pada ikatan protein. Akan tetapi perubahan ikatan protein akan bermakna secara klinis apabila:
1) Lebih dari 90% jumlah obat dalam plasma merupakan bentuk terikat protein.
2) Obat terdistribusi ke jaringan harus dalam jumlah yang kecil.

Ekskresi adalah parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh gangguan ginjal. Jika filtrasi glomeruler terganggu oleh penyakit ginjal , maka klirens obat yang terutama tereliminasi melalui mekanisme ini akan menurun dan waktu paruh obat dalam plasma menjadi lebih panjang.
Penderita dengan ginjal yang tidak berfungsi normal dapat menjadi lebih peka terhadap beberapa obat, bahkan jika eliminasinya tidak terganggu. Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan gangguan ginjal, yang biasanya dinyatakan dalam istilah laju filtrasi glomeruler (LFG). Perubahan dosis yang paling sering dilakukan adalah dengan menurunkan dosis atau memperpanjang interval pemberian obat, atau kombinasi keduanya.







5. Penggolongan Obat pada Saluran Pencernaan a. Antitukak
Tukak lambung adalah suatu kondisi patologis pada lambung, deudenum, esofagus bagian bawah, dan stoma gastroenterostomi (setelah bedah lambung).
Tujuan terapi tukak lambung adalah meringankan atau menghilangkan gejala, mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi yang serius (hemoragi, perforasi, obstruksi), dan mencegah kambuh.
Golongan dari Antitukak adalah sebagai berikut:


No
Golongan Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode ICOPIM
Brand Name
1. Antasida Aluminuim
Hidroksida
Antasida DOEN 7-300

7-309 • Dexanta
• Promag
• Waisan
Magnesium
Karbonat 7-301 • Simeco
• Saclon
• Neoglumin
Magnesium
Trisilikat 7-303 • Neomag
• Homag
• Sanmag
Magnesium
Hidrotalsit 7-302 • Talsit
• Waisan Forte
Natrium
Bikarbonat • Antimaag
2. Antagonis
Reseptor H2 Cimetidin 7-308 • Sanmetidin
• Tagamet
• Ulsikur
Fomatidin • Facid
• Famocid
• Gaster
Nizatidin • Axid
Ranitidin • Graseric
• Radin
• Rantin
3. Antimuskarini
k yang Selektif Pirenzepin • Gastrozepin
• Pirenzepin
4. Khelator dan
Senyawa
Kompleks Trikalium
Disitratobismutat • De-Nol
Sukralfat • Inpepsa







• Ulcron
• Ulcumaag
5. Analog
Prostaglandin Misoprostol • Cytotec
6. Penghambat
Pompa Proton Omeprazole • Lambuzol
• Loklor
• Losec
Lansoprazol • Betalans
• Laz
• Prosogan
Pantoprazol • Pantozol


b. Antispasmodik

Antispasmodik merupakan dolongan obat yang memiliki sifat sebagai relaksan otot polos. Termasuk dalam kelas ini adalah senyawa yang memiliki efek antikolinergik (lebih tepatnya antimuskarinik) dan antagonis reseptor- dopamin tertentu.
Golongan dari Antipasmodik adalah sebagai berikut:


No
Golongan Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode ICOPIM
Brand Name
1. Antimuskarinik Atropin Sulfat 7-110
Ekstrak
Beladona 7-110
Hiosin
Butilbromida 7-111 • Buskopan
• Buskopan Plus
• Gitas
Propantelin
Bromida 7-112 • ProBanthine
2. Antispasmodik
lain Mebeverin
Hidroklorida 7-511 • Duspatalin
3. Stimulan
Motilitas Cisaprid







c. Antidiare

Golongan dari Antidiare adalah sebagai berikut:


No
Golongan Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode ICOPIM
Brand Name
1. Oralit Oralit • Alphatrolit
• Aqualyte
• Bioralit
2. Adsorben dan
Obat Pembunuh Massa Kaolin, ringan • Neo Diaform
• Neo Kaolana
• Neo Entrostop
Attapulgit 7-351 • Neo Koniform
• Tapulrae
Karbo Absorben • Karbo Absorben
• Norit
3. Antimotilitas Codein 6-502
Co-Fenotrop • Lomotil
Loperamid
Hidroklorida 7-352 • Imomed
• Lodia
• Lomodium
Morfin 6-501
4. Pengobatan
Diare Kronis Sulfasalazin 6-105 • Sulcolon
Kolesteramin • Questran
Hidrokortison 6-200


d. Pencahar

Pencahar adalah obat yang digunakan untuk memudahkan pelintasan dan pengeluaran tinja dari kolon dan rektum. Pencahar umumnya harus dihindari, kecuali bila ketegangan akan memperparah suatu kondisi (seperti pada angina) atau meningkatkan resiko pendarahan rektal (seperti pada hemoroid). Pencahar juga bermanfaat pada konstipasi kerena obat, untuk pengeluaran parasit setelah pemberian antelmenti, serta untuk membersihkan saluran cerna sebelum pembedahan dan prosedur radiologi. Penyelahgunaan pencahar dapat menyebabkan hipokalemia dan atonia kolon sehingga tidak berfungsi.







Golongan dari Pencahar adalah sebagai berikut:


No
Golongan Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode ICOPIM
Brand Name
1. Pencahar
Pembentuk
Massa Ishaghula Sekam 7-331 • Metamucil
• Mucofalk
• Mulax
2. Pencahar
Stimulan Bisakodil 7-319 • Dulcolax
• Laxamex
• Melaxan
Dantron 7-319
Natrium
Dokusat • Laxatab
Glyserin • Glyserin Cap
Gajah
• Proconsti
• Triolax
Natrium
Pikosulfat • Laxoberon
3. Pelunak Tinja Parafin
Liquidum 7-321 • Laxadin
4. Pencahar
Osmotik Laktulosa 7-339 • Duphalac
Magnesium
Sulfat 7-330 • Garam Inggris
Cap Gajah


e. Antihemoroid

Gatal-gatal, rasa nyeri, dan ekskoriasi di anus dan perianus yang lazim dijumpai pada pasien hemoroid, fistulas, dan proktitis sebaiknya diobati dengan aplikasi salep dan supositoria. Pembersihan lokal dengan hati-hati maupun penyesuaian diit guna menghindari tinja yang keras, serta penggunaan pencahar pembentuk massa seperti bran dan diet residu tinggi juga bermanfaat. Pada proktitis, tindakan-tindakan ini dapat menambah pengobatan dengan kortikosteroid atau sulfasalazin.







Golongan dari Antihemoroid adalah sebagai berikut:


No
Golongan Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode ICOPIM
Brand Name
1. Sediaan
Pelembut Bismut • Anusol
• Rako
• Boraginol-N
2. Sediaan
Kombinasi dengan Kortikosteroid Kortikostreroid 6-209 • Anusol HC
• Ultraproct
• Boraginal-S
3. Sklerosan
Rektal


f. Obat dengan Gangguan Sekresi Pencernaan

Golongan dari obat dengan gangguan sekresi pencernaan adalah sebagai berikut:

No
Golongan Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode ICOPIM
Brand Name
1. Obat yang
Bekerja pada Kandung Empedu Asam
Kenodeoksikolat 7-341 • Chenofalk
Asam
Ursodeoksikolat 7-703 • Estazor
• Pramur
• Urdafalk
2. Enzim
Pencernaan Pankreatin 7-340 • Enzymfort
• Excelase
• Librozym







6. Penggolongan Obat pada Saluran Pernafasan


No
Golongan Zat Aktif
(Nama Generic)
Kode ICOPIM
Brand Name
1 Antiasma &
Bronkodilator Teofilin 7-412 • Asmasolon
• Amilex
• Bronchophylin
Aminofilin 7-570 • Decafil
• Aminofusin
TPN
• Konisma
Salbutamol 7-571 • Astop
• Bromosal
• Butasal
Terbutalin 7-578 • Astherin
• Bintasma
• Brasmatic
Bambuterol
HCL • Bambec
Eformoterol
Fumarat • Foradil
Fenoterol
Hidrobromida • Berotec
• Berodual Mdi
Salmeterol • Serevent Inhaler
• Serevent
Rotadisk
Efedrin HCL 7-121 • Erladrine
Ipratoprium
Bromida 7-578 • Atrovent
• Atrovent Udv
• Combivent
2 Kortikosteroid Beklometason
Dipropionat 7-606 • Beclomet
• Becotide
• Respocort
Autohaler
Budesonid • Inflammide
• Pulmicort
• Pulmicort
Respules
Flutikason
Propionat • Flixotide
Inhaler
• Flixotide
Rotadisk







3 Kromoglikat Natrium
Kromoglikat • Intal 5
Nedokromil
Natrium • Tylade
Syncroner
Ketotifen • Intifen
• Nortifen
• Profilas
4 Antihistamin Akrivastin • Semprex
Astemizol • Hismanal
• Hispral
• Lapihis
Setirizin
Hidroklorida • Betarhin
• Cerini
• Incidal OD
Loratadin • Alloris
• Anhissen
• Clarihis
Terfenadin • Alpenaso
• Gradane
• Hisdane
Azatadin Maleat • Zadine
Klorfeniramin
Maleat • Aficitom
• Alleron
• Chlorophen
Dimenhidrinat 6-305 • Antimab
• Antimo
• Dramamine
Sinarizin • Cinnipirine
• Sturgeron
Klemastin • Tavegyl
Siproheptadin
HCL • Alphahist
• Aprocyn
• Apeton
Hidroksizin
Hidroklorida • Bestalin
• Iterax
Mequitazin • Meviran
Oksatomid • Oxtin
• Tinset
Feniramin
Maleat 6-302 • Avil
Prometazin
Hidroklorida 6-911 • Camergan
• Phenergan
Prometazin 6-911 • Avopreg







Teoklat
Mebhidrolin
Napadisilat 6-304 • Biolergy
• Histapan
• Interhistin
Oksomemazin • Comtusi
• Doxergan
Homoklorsiklizi
n Hidroklorida • Homoklomin
Deksklorfeniram
in Maleat 6-300 • Dexteem
• Polamec
• Polofar
Brompheniramin
Maleat 6-304 •
Deksbromfenira
min Maleat 6-304 • Drixoral
Oksatomid • Oxtin
• Tinset
Mequitazin • Meviran
5 Mukolitik Asetilsistein 7-553 • Fliumucil
• Fluimucil
Pediatric
• Pectocil
Karbosisetein • Broncholit
• Muciclar
• Mucocil
Ambroxol • Ambril
• Berea
• Bronchopront
6 Antitusif Codein 6-502 • Codipront
• Codipront Cum
Expectorant
Dekstrometorfan 7-548 • Romilar
• Zenidex
7 Dekongestan Pseudoefedrin
HCL 7-561 • Sudafed
Fenilpropanolam
in 7-700 • Rhinergal
8 Ekspektoran Gliseril
Guaiakolat 7-550 • Woods
Pepermint
• Versaldex
• Pyril
Deksbromfenira
min 6-304 • Drixoral
Tripelenamin 6-305 • Neobronco







Piristina
Etil Morfin 6-502 • Dionin Cough
Alkaloida opium
& morphin • Doveri
• Pulvis Doveri
Noscapin 6-502 • Longatin
• Mercotine
• Neocodin
Isoaminil 7-548 • Peracon
Oksolamin • Bredon
Pipazetat 7-548 • Selvigon
Butamirat • Sinecod







7. Penggolongan Obat pada Antibiotika
Antibiotik adalah zat yang dihasilakn oleh mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain. Sedangkan antimikroba yaitu obat yang membasmi mikroba khusunya mikroba yang merugikan manusia. Penggunaan antibiotik didasarkan pada:
a. Penyebab infeksi
Proses pemberian antibiotic yang paling baik adalah dengan melakukan pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun pada kenyataannya, proses tersebut tidak dapat berjalan karena tidak mungkin melakukan pemeriksaan kepada setiap pasien yang datang karena infeksi, dank arena infeksi yang berat perlu penanganan segera maka pengambilan sample bahan biologic untuk pengembangbiakan dan pemeriksaan kepekaan kuman dapat dilakukan setelah dilakukannya pengobatan terhadap pasien yang bersangkutan.
b. Faktor pasien
Faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotic adalah fungsi organ tubuh pasien yaitu fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis), daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, usia, untuk wanita apakah sedang hamil atau menyusui dan lain-lain.


• Fungsi Antibiotika
Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara provilaktis juga diberikan kepada pasien dengan sendi dan klep jantung buatan, juga sebelum cabut gigi.
Mekanisme kerja yang terpenting pada antibiotika adalah perintangan sintesa protein, sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi tanpa merusak jaringan tuan rumah. Selain itu, beberapa antibiotika bekerja terhadap dinding sel dan membran sel. Namun antibiotika dapat digunakan sebagai non-terapeutis, yaitu sebagai stimulans pertumbuhan pada binatang ternak.







• Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis
Profilaksis antibiotik diperlukan dalam keadaan sebagai berikut:
a. Untuk melindungi seseorang yang terpajan kuman tertentu.
b. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko bakteremia, misalnya ekstraksi gigi, pembedahan dan lain-lain.
c. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila terjadi infeksi pasca bedah.


• Antibiotik Kombinasi
Antibiotik kombinasi diberikan untuk 4 indikasi utama:
a. Pengobatan infeksi campuran, misalnya pasca bedah abdomen.
b. Pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya belum jelas, misalnya sepsis, meningitis purulenta.
c. Mendapatkan efek sinergi.
d. Memperlambat timbulnya resistensi, misalnya pada pengobatan tuberkulosis.


• Golongan dari Antibiotik adalah sebagai berikut:


No
Klasifikasi Zat Aktif (Nama Generic)
Kode ICOPIM
Brand Name
1. Penisilin
(6-349) Benzatin
Penisilin G 6-000 • Prokain
Penisilin G
• Penadur LA
Phenoxymethyl
Penicilline 6-002 • Fenocin
• Ospen
• Ven Pee
Kloksalisin • Meixam
• Ikaclox
• Orbenin
Flucloxacillin 6-003 • Alclomex
• Floxapen
Ampicilin 6-004 • Dexypen
• Kalpicilin
• Bimapen
Amoksisilin 6-004 • Abdimox
• Alphamox







• Amobiotic
Bakampisilin • Bacacil
Co Amoksiklav • Amocomb
• Ancla
• Augmentin
Pivampisilin • Pivamex
Tikarsilin • Timentin
Piperasilin 6-164 • Ledercil
Sulbenisilin • Kedacilin
2. Sefalosporin
(6-059) Cefaclor • Capabiotic
• Ceclor
• Cloracef
Cefadroxil • Alxil
• Bidicef
• Biodroxil
Sefiksim • Cefspan
• Ceptik
• Comsporin
Sefrozil • Cefzil
Sefodizim • Modivid
Cefotaxime • Clacef
• Claforan
• Clatax
Sefpirom • Cefrom
Ceftazidime • Ceftum
• Fortum
Seftibutem • Cedax
Ceftriaxone • Broadcef
• Elpicef
• Rochephin
Sefuroxime • Anbacim
• Cefurox
• Cethixim
Cephalexin 6-052 • Cefabiotic
• Ospexin
• Pralexin
Sefamandol • Dardokef
• Dofacef
Cephradin 6-059 • Ceficin
• Dynacef
• Velocef
Cefazolin • Cefacidal
Sefpodoksim • Banan







Antibiotik
Betalaktam
Lainnya Aztreonam • Azactam
Imipenem 6-901 • Tienam
Meropenem • Meronem
3. Tetrasiklin
(6-040) Tetrasiklin 6-040 • Bimatra
• Camicyclin
• Combicyclin
Dimeklosiklin
Hidroklorida • Ledermycin
Doxycycline 6-043 • Dotur
• Doxin
• Dumoxin
Minosiklin 6-049 • Minocin
Oxytetracycline 6-042 • Teramycyn
4. Aminoglikosida
(6-638) Amikasin 6-069 • Alostil
• Amikin
Gentamisin 6-082 • Ethigent
• Garabiotic
• Garamycin
Kanamycin 6-069 • Kanamycin
Meiji
Neomisin Sulfat 7-600 • Almocyn
Netilmisin • Netromycin C
Tobramisin 6-089 • Dartobcin
• Tobryne
5. Makrolid
(6-482) Erytromisin 6-030 • Alphathrocin
• Bannthrocin
• Camitrocin
Azitromisin • Aztrin
• Mezatrin
• Zifin
Klaritromisin • Abbotic
• Clambiotic
• Claros
Roksitromisin • Anbiolid
• Ixor
• Makrodex
Spiramisin 6-032 • Hypermisin
• Osmysin
• Rovadin
6. Kuinolon
(6-139) Asam Nalidiksat 6-190 • Negram
• Urineg







Asam Pipemidat • Impresial
• Urinter
• Urixin
Ofloksasin • Akilen
• Betaflox
• Danoflox
Norfloksasin • Amanita
• Lexinor
• Nopratik
Ciprofloksasin • Baquinor
• Bernoflox
• Bidiprox
Pefloksasin • Peflacine
Fleroksasin • Quinodis
Sparfloksasin • Zagam
Levofloksasin • Cravit
• Reskuin
7. Sulfonamide
(6-109) dan Trimetropim (6-148) Trimetoprim 6-148 • Tobyprim
• Trisoprim
Cotrimoksazol 6-193 • Abatrim
• Bactoprim
• Bactricid
Sulfadiazin 6-102
Sulfadimidin 6-102
Sulfasalazin 6-105 • Sulcolon
8. Antibiotik Lain Kloramfenikol • Camicetine
• Chloramex
• Colme
Tiamfenikol • Biothicol
• Comthycol
• Corsafen
Klindamisin • Albiotin
• Ancrocid
• Cindala
Linkomisin 6-039 • Biolincom
• Lincobiotic
• Lincocin
Vankomisin 6-081 • Ladervan
Spektinomisin 6-069 • Trobicin
Kolistin • Colistine







8. Pengetahuan Farmakologi (Obat) bagi Rekam Medis

Selama ini obat dalam pelayanan kesehatan selalu disebut sebagai unsur penunjang walaupun hampir 80% pelayanan kesehatan diintervensi dengan obat. Hubungan kemitraan, tidak lepas dari sejarah pelayanan kefarmasian yang dititik beratkan pada produk (membuat, meracik) serta menyerahkan obat kepada pasien. Hubungan interaksi langsung Apoteker dengan pasien sangat jarang dan bahkan komunikasi antara Apoteker dengan staf medik atau staf non-medis lainnya juga sangat kurang, padahal kemitraan dimulai dengan komunikasi yang baik.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1991) rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang terekam tentang identitas, anamnese, penentuan fisik laboratorium, diagnosa, segala pelayanan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien, dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan, maupun yang mendapat pelayanan gawat darurat. Sedangkan menurut Huffman (1994) rekam medis adalah himpunan fakta-fakta yang berhubungan dengan riwayat hidup dan kesehatan seorang pasien, termasuk penyakit sekarang dan masa lampau dan tindakan-tindakan yang diberikan untuk pengobatan/perawatan kepada pasien tersebut yang ditulis oleh profesional dalam bidang kesehatan.
Beberapa arti penting pengetahuan farmakologi (obat) bagi rekam medis adalah sebagai berikut:
a. Jaminan Keakuratan Laporan/Informasi

Dari pengertian-pengertian diatas, jelas bahwa di dalam rekam medis mencatat segala hal tentang pengobatan/terapi terhadap pasien, sehingga di dalam rekam medis tidak terlepas dari macam-macam obat yang digunakan dalam pengobatan/terapi tersebut. Data-data inilah yang kemudian akan diolah oleh bagian rekam medis menjadi sebuah laporan yang diperlukan atau dilaporkan kepada pihak menejemen atau pihak luar rumah sakit (Dinas Kesehatan maupun Departemen Kesehatan). Laporan ini nantinya menjadi sebuah informasi untuk menunjang sebuah keputusan. Bagaimana jika rekam medis tidak dibekali oleh pengetahuan







farmakologi (obat)? Olahan data tersebut tidak akan valid atau tidak akurat karena rekam medis akan terasa asing dengan nama atau macam obat-obat tersebut. Diharapkan dengan adanya pengetahuan farmakologi (obat), petugas rekam medis mampu untuk mengenali (familiar) terhadap nama, bentuk, ataupun macam-macam obat yang digunakan dalam tindakan pengobatan, sehingga data-data dari rekam medis dapat diolah dan disajikan secara akurat. Dengan kata lain, keakuratan laporan/informasi diharapkan dapat memperbaiki/menjaga mutu pengambilan keputusan bagi pihak menejemen maupun Dinas Kesehatan/Departemen Kesehatan.
b. Keakuratan Data Medis Pasien

Berkas rekam medis adalah milik rumah sakit, namun isinya merupakan milik pasien. Di dalam rekam medis terdapat segala bentuk pelayanan yang sudah diberikan oleh pasien, termasuk di dalamnya adalah obat-obat yang digunakan untuk menunjang pelayanan kesehatan/proses penyembuhan pasien. Petugas rekam medis sendiri harus pandai mentelaah/mencerna isi rekam medis (obat) karena rekam medis itu sendiri merupakan bukti pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Manfaat dari hal ini adalah sebagai berikut:
• Penulisan diagnosis yang tidak jelas oleh dokter, dapat dipertegas dengan memperkirakan obat yang digunakan.
• Klaim asuransi biasanya harus mencantumkan obat yang digunakan oleh pasien selama menjalani pelayanan kesehatan, sehingga petugas rekam medis harus tahu (tidak salah/harus akurat) dalam menuliskan obat yang digunakan pada lembar klaim asuransi.
• Data obat yang jelas dapat dijadikan olat komunikasi antar dokter karena (mungkin) tidak setiap pasien ditangani oleh dokter yang sama.
• Rekam medis merupakan bukti pelayanan terhadap pasien, sehingga informasi dan data di dalamnya harus lengkap, jelas, dan akurat (termasuk di dalamnya pemberian obat kepada pasien), sehingga petugas rekam medis harus dapat memahami isi rekam medis itu sendiri.







DAFTAR PUSTAKA



Anief, Moh. Drs, Apt. Ilmu Farmasi. 1984. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press
Aslam, Mohammed, Chik Kaw Tan, Adi Prayitno. 2003. Farmasi Klinis (Clinical
Pharmacy). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokeran Universitas Indonesia. 1995.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta

Browsing Internet melalui situs search engine www.google.com

Hand-out Kuliah Biomedik Farmakologi Program Studi Rekam Medis FMIPA Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Hand-out Kuliah Farmakologi Program Studi Farmasi Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta

Muhlis, Muhammad, S.Si, Apt. 2003. Diklat Kuliat Farmasetika I. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan

Undang-undang Bidang Kesehatan dan Farmasi. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
a. Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis adalah penyakit akibat terganggunya proses metabolisme gula darah di dalam tubuh, sehingga kadar gula dalam darah menjadi tinggi. Kadar gula dalam darah penderita diabetes saat puasa adalah lebih dari 126 mg/dl dan saat tidak puasa atau normal lebih dari 200 mg/dl. Sedangkan pada orang normal kadar gulanya berkisar 60-120 mg/dl.
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hyperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi (Brunner & Suddarth, 2002).
Kadar Glukosa darah sewaktu puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar Glukosa darah sewaktu (mg/dl) Plasma
Vena < 110 110 – 199 > 200
Darah
Kapiler < 90 90 – 199 > 200
Kadar Glukosa darah puasa (mg/dl) Plasma
Vena < 110 110 – 125 > 125
Darah
Kapiler < 90 90 – 109 > 110

Klasifikasi Diabetes Mellitus
1. Diabetes Tipe 1: defisiensi insulin absolut (Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM))
2. Diabetes tipe II: resistensi insulin dan atau defek sekresi insulin (Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM]), terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin)
3. Diabetes Melitus tipe lain:
• Penyakit dari pankreas eksokrin (al.pankreatitis)
• Endokrinopati (al. acromegaly, cushing syndrome)
• Induksi obat atau zat kimia dan lain-lain
4. Diabetes Melitus Gestasional (Gestasional Diabetes Mellitus [GDM])
b. Etiologi Diabetes Melitus
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel ? dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel ? tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel? pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Kapita Selekta Kedokteran, 2001).
Diabetes tipe I:
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b) Obesitas
c) Riwayat keluarga
Terapi-Diabetes Mellitus
Tujuan terapi
- Pengendalian kadar glukosa darah sepanjang hari pada rentang acceptable
- Menghindarkan gejala DM
- Meminimalkan dan mencegah komplikasi
- Menghindarkan hipoglikemia
c. Patofisiologi Diabetes Melitus
Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut : (1) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml. (2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan aterosklerosis. (3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh. Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada diabetes mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine klien diabetes mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225 mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg%.
Asidosis pada diabetes, pergeseran dari metabolisme karbohidrat ke metabolisme telah dibicarakan. Bila tubuh menggantungkan hampir semua energinya pada lemak, kadar asam aseto – asetat dan asam Bihidroksibutirat dalam cairan tubuh dapat meningkat dari 1 Meq/Liter sampai setinggi 10 Meq/Liter.

d. Manifestasi Klinis
Gejala yang lazim terjadi, pada diabetes mellitus sebagai berikut :
Pada tahap awal sering ditemukan :
a.Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b.Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c.Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
d.Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus
e.Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.
Diagnosis DM Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) ditandai dengan adanya gejala berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impoteni pada pria serta pruritus vulva pada wanita
f. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia. Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin.
Pada penderita dengan diabetes mellitus harus rantang gula dan makanan yang manis untuk selamanya. Tiga hal penting yang harus diperhatikan pada penderita diabetes mellitus adalah tiga J (jumlah, jadwal dan jenis makanan) yaitu :
J I : jumlah kalori sesuai dengan resep dokter harus dihabiskan.
J 2 : jadwal makanan harus diikuti sesuai dengan jam makan terdaftar.
J 3 : jenis makanan harus diperhatikan (pantangan gula dan makanan manis).
Diet pada penderitae diabetes mellitus dapat dibagi atas beberapa bagian antara lain :
a. Diet A : terdiri dari makanan yang mengandung karbohidrat 50 %, lemak 30 %, protein 20 %.
b. Diet B : terdiri dari karbohidrat 68 %, lemak 20 %, protein 12 %.
c. Diet B1 : terdiri dari karbohidrat 60 %, lemak 20 %, protein 20 %.
d. Diet B1 dan B¬2 diberikan untuk nefropati diabetik dengan gangguan faal ginjal.
Indikasi diet A :
Diberikan pada semua penderita diabetes mellitus pada umumnya.
Indikasi diet B :
Diberikan pada penderita diabetes terutama yang :
a. Kurang tahan lapan dengan dietnya.
b. Mempunyai hyperkolestonemia.
c. Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya pernah mengalami cerobrovaskuler acident (cva) penyakit jantung koroner.
d. Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya terdapat retinopati diabetik tetapi belum ada nefropati yang nyata.
e. Telah menderita diabetes dari 15 tahun
Indikasi diet B1
Diberikan pada penderita diabetes yang memerlukan diet protein tinggi, yaitu penderita diabetes terutama yang :
a. Mampu atau kebiasaan makan tinggi protein tetapi normalip idemia.
b. Kurus (underweight) dengan relatif body weight kurang dari 90 %.
c. Masih muda perlu pertumbuhan.
d. Mengalami patah tulang.
e. Hamil dan menyusui.
f. Menderita hepatitis kronis atau sirosis hepatitis.
g. Menderita tuberkulosis paru.
h. Menderita penyakit graves (morbus basedou).
i. Menderita selulitis.
j. Dalam keadaan pasca bedah.
Indikasi tersebut di atas selama tidak ada kontra indikasi penggunaan protein kadar tinggi.
Indikasi B2 dan B3
Diet B2
Diberikan pada penderita nefropati dengan gagal ginjal kronik yang klirens kreatininnya masih lebar dari 25 ml/mt.
Sifat-sifat diet B2
a. Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari tetapi mengandung protein kurang.
b. Komposisi sama dengan diet B, (68 % hidrat arang, 12 % protein dan 20 % lemak) hanya saja diet B2 kaya asam amino esensial.
c. Dalam praktek hanya terdapat diet B2 dengan diet 2100 – 2300 kalori / hari.
Karena bila tidak maka jumlah perhari akan berubah.
Diet B3
Diberikan pada penderita nefropati diabetik dengan gagal ginjal kronik yang klibers kreatininnya kurang dari 25 MI/mt
Sifat diet B3
a. Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari).
b. Rendah protein tinggi asam amino esensial, jumlah protein 40 gram/hari.
c. Karena alasan No 2 maka hanya dapat disusun diet B3 2100 kalori dan 2300 / hari. (bila tidak akan merubah jumlah protein).
d. Tinggi karbohidrat dan rendah lemak.
e. Dipilih lemak yang tidak jenuh.
Semua penderita diabetes mellitus dianjurkan untuk latihan ringan yang dilaksanakan secara teratur tiap hari pada saat setengah jam sesudah makan. Juga dianjurkan untuk melakukan latihan ringan setiap hari, pagi dan sore hari dengan maksud untuk menurunkan BB.
Penyuluhan kesehatan.
Untuk meningkatkan pemahaman maka dilakukan penyuluhan melalui perorangan antara dokter dengan penderita yang datang. Selain itu juga dilakukan melalui media-media cetak dan elektronik.
g. Pelaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
2) Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
3) Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
4) Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
5) Integritas Ego
Stress, ansietas
6) Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
7) Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
8) Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
9) Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
10) Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
11) Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Diagnosa yang mungkin muncul:
a. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
Tujuan (NOC):
Klien mentoleransikan aktivitas yang biasa dilakukan dan ditunjukkan dengan daya tahan, penghematan energi, dan perawatan diri, aktivitas kehidupan sehari-hari (AKSI).
Kriteria evaluasi:
• Mengidentifikasikan aktivitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang berkontribusi pada intoleransi aktivitas.
• Berpertisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan peningkatan yang memadai pada denyut jantung.
• Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang kebutuhan okisigen, pengobatan, atau peralatan yang dapat meningkatkan toleransi terhadap aktivitas
Intervensi (NIC):
 Terapi aktivitas
 Pengelolaan energy
Aktivitas keperawatan:
• Kaji respons emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas
• Tentukan penyebab keletihan
• Pantau respons kardiorespiratori terhadap aktivitas
• Pantau asupan nutrisi untuk memastikan keadekuatan sumber-sumber energy.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual/muntah
Tujuan(NIC):
Menunjukkan status gizi: asupan makanan, cairan, dan zat gizi, ditandai dengan indicator berikut( sebutkan nilainya 1-5: tidak adekuat, ringan sedang, kuat, atau adekuat total)
Kriteria evaluasi:
• Mempertahankan BB
• Menjelaskan komponen keadekuatan diet gizi
• Menyatakan keinginan untuk mengikuti diet
• Toleransi terhadap diet yang dianjurkan
• Melaporkan keadekuatan tingkat enrgi
Intervensi (NIC):
• Pengelolaan gangguan makan
• Pengelolaan nutrisi
• Bantuan menaikkan berat badan
Aktivitas keperawatan:
• Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
• Pantau nilai laboratorium, khususnya transferrin, albulin, dan elektrolit
• Pengelolaan nutrisi
c. Resiko infeksi b.d pertahanan tubuh yang tidak adekuat
Tujuan (NOC):
 Faktor resiko infeksi akan hilang dengan dibuktikan oleh keadekuatan status imun pasien, pengetahuan yang penting: pengendalian infeksi, dan secara konsisten menunjukkan perilaku deteksi risiko, dan pengendalian risiko.
 Pasien menunjukkan pengendalian risiko, dibuktikan oleh indicator berikut ini ( antara 1-5 tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, konsisten menunjukkan).
Kriteria evaluasi:
• Terbebas dari tanda atau gejala infeksi
• Menunjukkan hygiene pribadi yang adekuat
• Menggambarkan factor yang menunjang penularan infeksi

Intervensi (NIC):
 Pemberian imunisasi/vaksinasi : pemberian imunisasi untuk mencegah penyakit menular.
 Pengendalian infeksi : meminimalkan penularan agens infeksius.
 Perlindungan terhadap infeksi : mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien yang berisiko
Aktivitas keperawatan :
• Pantau tanda atau gejala infeksi
• Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
• Amati penampilan praktik hygiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.
d. Kekurangan volume cairan b.d ehilangan volume cairan aktif
Tujuan (NIC):
• Keseimbangan elektrolit dan asam-basa: keseimbangan elektrolit dan nonelektrolit dalam ruang intrasel dan ekstrasel tubuh
• Kekurangan cairan : keseimbangan air dalam ruang intrasel dan ekstrasel tubuh
Kriteria evaluasi:
• Memiliki hemoglobin dan hematocrit dalam batas normaluntuk pasien
• Memiliki tekanan vena sentral dan pulmonal dalam rentang yang harapkan
• Tidak mengalami haus yang tidak normal
• Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang dalam 24 jam
• Menampilkan hidrasi yang baik(membrane mukosa lembab, mampu berkeringat)
Intervensi (NIC):
1. Pengelolaan elektrolit
2. Pengelolaan cairan
3. Pemantauan cairan
4. Pengelolaan hipovolemia
5. Terapi intravena(IV)
6. Pengelolaan syok, volume
Aktivitas keperawatan:
• Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
• Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit
• Pantau perdarahan(misalnya obat-obatan, demam,stress, dan program pengobatan
• Tinjau ulang elektrolit, terutama natrium, klorida, dan kreatinin.
7. Ansietas b.d ancaman atau perubahan pada status kesehatan
Tujuan (NOC):
o Ansietas berkurang ditunjukkan dengan menunjukkan control agresi, control ansietas, koping, control impuls, pemahaman multilasi diri, dan interaksi social.
o Menunjukkan control ansietas
Kriteria Evaluasi:
o Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun ada kecemasan
o Tidak menunjukkan perilakuagresif
o Mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan negative secara tepat
Intervensi (NIC):
Pengurangan ansietas
Aktivitas keperawatan:
o Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan klien
o Selidiki dengan klien tentang teknik yang telah dimiliki dan balum dimiliki
o Sarankan terapi alternative untuk mengurangi ansietas yang di terima oleh klien
o Ciptakan lingkungan yang tenang











Daftar pustaka
http://www.scribd.com/doc/29461070/ASKEP-DM
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.
Wilkinson,M. Judith. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 7. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran(EGC).